Oleh Ust. H. Rafiq Jauhary
Pembimbing Ibadah Umroh dan Haji Khusus Bertaqwa
Belakangan ini viral di media sosial tentang pernikahan yang dilakukan sepasang suami istri di depan Ka'bah dengan mengenai pakaian ihram. Tidak sedikit dari netizen yang turut bergembira dan mendoakan pasangan tersebut, namun ada pula yang menanyakan tentang keabsahannya
Jika Anda memiliki ketertarikan dengan konsep pernikahan yang sama dengan pasangan tersebut, maka berikut yang perlu diperhatikan.
1.Legalitas Pernikahan
Melakukan pernikahan di luar negeri, dalam hal ini di Masjidil Haram adalah suatu hal yang memungkinkan untuk dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Akan tetapi untuk mendapatkan legalitas berupa buku nikah maka pernikahan ini harus tercatat di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah.
Bagi jamaah umrah, pastikan sebelum keberangkatan untuk berkonsultasi dengan Travel dan KJRI untuk teknis pelaksanaan dan penyiapan berkasnya.
2.Kondisi Masjidil Haram
Masjidil Haram memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat berlangsungnya pernikahan, selagi pernikahan ini dilakukan dengan sederhana tanpa dekorasi maupun pengeras suara. Penduduk setempat pun sering mengadakan pernikahan di Masjidil Haram yang dihadiri oleh mempelai, wali, saksi, dan keluarga terdekat.
Namun terkhusus jika pernikahan tersebut hendak dilakukan di hadapan Ka'bah maka mempelai dan seluruh hadirin harus memakai pakaian ihram, sebagaimana aturan yang berlaku saat ini, sekalipun pakaian ihram ini hanya dikenakan sebagai aksesoris saja, tidak berihram sungguhan.
3.Menikah di tengah prosesi umrah
Hanya saja jika pernikahan tersebut dilakukan benar-benar di tengah prosesi umrah, maka ini termasuk di antara hal yang haram/terlarang.
Rasulullah bersabda,
لا يَنكِحِ المُحْرِمُ، ولا يُنكِحْ، ولا يَخْطُبْ
"Seorang yang sedang berihram dilarang untuk dinikahkan, menikah, maupun melakukan lamaran (khitbah)." HR Muslim
Sa'id bin Musayib mengutarakan,
أنَّ رجلًا تزوَّجَ وهو مُحْرِمٌ، فأجمَعَ أهلُ المدينةِ على أن يُفرَّقَ بينهما
"Terdapat seorang lelaki menikah dalam keadaan berihram, maka para ulama ahli Madinah bersepakat untuk memisahkan (membatalkan pernikahan) pasangan tersebut." (Al-Baihaqi)
Para ulama menjelaskan bahwa pernikahan yang dilakukan seorang dalam keadaan berihram mengakibatkan pernikahan batal, tidak sah. Adapun umrah atau hajinya tetap sah, pelakunya pun tidak dikenai denda berupa Dam, Fidyah, maupun puasa.
Sementara dalam hal lamaran/khitbah mayoritas ulama dalam Madzhab Syafi'i dan Hanbali menggolongkannya sebagai suatu hal yang makruh. Wallahu a'lam.